Di tengah aktivitas tokok sagu yang dilakukan di dalam hutan, seorang pemuda asli Momuna, Danius Keyke, menyuarakan keresahan masyarakatnya atas perampasan tanah dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat ulah pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
“Momuna dan hutan ini adalah rumah kami, orang Papua. Ini hutan lindung kami. Tapi orang luar masuk sembarangan, tebang kayu, ambil emas, ambil pasir, semuanya seenaknya. Mereka tipu kami dengan uang seribu-dua ribu. Saya, sebagai anak asli Momuna, tidak bisa terima itu,” ujar Danius saat diwawancarai oleh tim Olemah.com.
Danius juga menyoroti persoalan klaim tanah oleh pemerintah daerah yang menurutnya belum memiliki kejelasan. Ia menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada surat pelepasan hak adat secara sah.
“Kalau sudah bayar, harus jelas. Diukur, dihargai secara nasional, dan dihormati. Jangan asal klaim 8x8 seenaknya. Tanah adat itu sudah ada sebelum pemerintah datang. Kami ini tahu, tapi kami dibodohi terus,” tegasnya.
Di lokasi yang sama, Mama Maria, salah satu ibu warga Momuna yang sedang memproses sagu, turut menyampaikan kesedihannya. Ia mengatakan bahwa keseimbangan ekosistem yang dulu terjaga kini mulai rusak akibat masuknya alat-alat berat dan eksploitasi alam secara masif.
“Dulu sebelum jadi kabupaten, kami hidup bersahabat dengan alam. Sekarang sudah susah. Kami tokok sagu, ramas, dan itu bisa makan waktu berhari-hari, tapi orang datang beli seenaknya, tawar sampai harga murah sekali. Mereka tidak pernah turun lihat sendiri seperti kalian, awak media,” kata Mama Maria.
Ia berharap ke depan ada penghargaan yang lebih adil bagi masyarakat adat seperti dirinya. “Tolong hargai kami seperti Tuhan Yesus hargai semua ciptaan-Nya,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Seruan masyarakat Momuna ini menjadi pengingat bahwa tanah, hutan, dan alam Papua bukan sekadar sumber daya, melainkan identitas, kehidupan, dan warisan suci yang harus dihormati bersama.
(Kaki Abu)
0 Komentar