JAYAPURA, LELEMUKU.COM – Dr. drg. Aloysius Giyai, seorang senior di bidang pelayanan kesehatan Papua, memberikan penjelasan lugas kepada perwakilan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, terkait masalah laten dalam sistem pembiayaan kesehatan nasional, khususnya pasca kasus meninggalnya ibu hamil bernama Irene Sokoy yang dikabarkan ditolak oleh empat rumah sakit di Kabupaten dan Kota Jayapura.
Dr. Giyai dengan tegas menyatakan bahwa hampir semua institusi pelayanan kesehatan di Papua, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta yang menjalankan layanan BPJS, saat ini menjadi "korban paket pembiayaan INA CBGs BPJS."
Dr. Giyai menjelaskan bahwa korban yang dimaksud adalah adanya selisih pembiayaan (financing gap). Sistem paket INA CBGs tidak memasukkan item-item pembiayaan tertentu, yang bagi masyarakat dengan ekonomi di atas prasejahtera mungkin tidak menjadi masalah, tetapi bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua, hal ini menjadi isu besar, terlepas dari apakah mereka peserta BPJS atau bukan.
Menurut Dr. Giyai, pelaksanaan paket INA CBGs merupakan "ilusi efisiensi". Ia mencontohkan, satu paket kamar operasi (OK) yang nilainya hanya jutaan rupiah harus dibagi untuk sekian dokter spesialis, perawat penunjang lain, ditambah dengan pembayaran listrik, air, dan sebagainya.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa pembatasan paket ini justru tidak efisien terhadap pengelolaan keuangan negara, karena satu pasien dengan sistem INA CBGs saat ini dapat datang dan berobat hingga "empat sampai lima kali dalam setahun". Seharusnya, pasien dapat ditangani tuntas dalam satu kali berobat dengan semua pembiayaan ditanggung.
"Oleh karena itu, ini hal yang laten terhadap indisipliner dari DPJP maupun profesi-profesi kelangkaan ini tidak kelihatan. Tapi bisa saja sewaktu-waktu masalah-masalah bisa muncul dan dampaknya dirasakan seperti yang kita rasakan ini," ujar Dr. Giyai merujuk pada dampak yang mungkin dialami oleh masyarakat seperti kasus yang sedang dibahas.
Dampak nyatanya terasa hingga lini terdepan. Dr. Giyai mengungkapkan bahwa petugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) di Papua sering menjadi korban, bahkan dapat dipukul, karena masyarakat harus membayar bagian-bagian tertinggi yang tidak ditanggung, meskipun mereka adalah peserta BPJS. Hal ini disebutnya sebagai fakta nyata yang terjadi.
Dua Rekomendasi Utama
Menanggapi krisis layanan yang dipicu masalah pembiayaan ini, Dr. Giyai mengajukan dua usulan penting dari Papua kepada Kementerian Kesehatan dan Gubernur:
Kesatu adalah, Perubahan Sistem Paket Pembiayaan. Paket INA CBGs wajib diubah menjadi paket INA DRG. Perubahan ini harus diikuti dengan penggunaan 7 digit digital, yang akan menghasilkan sistem biaya berdasarkan biaya sebenarnya, bukan paket INA CBGs yang tidak mengakomodir sebagian pembiayaan BPJS.
Menurutnya, jika menggunakan hitungan biaya sebenarnya, masalah insentif SDM, termasuk dokter spesialis akan teratasi karena adanya pembagian yang jelas.
Kedua adalah Pendampingan Pembiayaan Komplementer. Negara, kata Giyai, tidak boleh melarang auditor-auditor keuangan (seperti BPK, Inspektorat, BPKP) untuk adanya dana penambahan dari pemerintah daerah (Pemda).
Dr. Giyai menekankan bahwa Undang-Undang Kesehatan menjamin bahwa apabila jaminan kesehatan nasional paketnya kurang, dapat ditanggung oleh dana daerah (APBD), apalagi untuk daerah Otonomi Khusus (Otsus).
Dr. Giyai meminta agar segera disiapkan "dana komplementer yang bersumber dari dana Otsus Pemda. Dana komplementer ini berfungsi melengkapi kekurangan paket INA CBGs BPJS, khususnya bagi orang Papua yang tidak mampu."
Selain masalah pembiayaan, Dr. Giyai juga mengungkapkan adanya kelangkaan Sumber Daya Manusia (SDM). Ia mengkritik bahwa negara terlalu banyak bicara mengenai SDM, sementara usulan untuk mengirim dokter spesialis ke Papua sering diabaikan atau dipikirkan berkali-kali.
Ia menuntut agar negara dan para pemimpin tidak hanya berbicara, tetapi menyediakan hal yang nyata: jumlah dokter spesialis tertentu, dengan insentif dan tunjangan yang memadai, lalu dikirim dan diatur penempatannya di Papua
"Satu spesialis itu dipakai di tiga rumah sakit," ungkapnya.
Dr. Giyai menegaskan bahwa tidak ada istilah negara mengatakan dana kurang untuk rakyat Papua. Sambil mengingatkan, jika rekomendasi ini tidak dijalankan, kasus-kasus yang mirip seperti kematian Irene Sokoy akan terus bermunculan.
"Semua harus diakomodir. Jika tidak, kasus ini akan muncul lagi, dan hal ini harus dicatat oleh tim Kementerian Kesehatan," tutup mantan Direktur RSUD Jayapura ini. (Joe)

0 Komentar