Berita Terbaru

6/recent/ticker-posts

Pencurian Hak dan Tuntutan Otonomi Sebenarnya: Implikasi Pemilu di Papua 2009 Ke 2024

Jayapura.Olemah.Com-Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua, yang secara resmi dikenal sebagai UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, telah menjadi fokus perdebatan yang semakin intens di tengah masyarakat Papua. Meskipun di atas kertas memberikan janji-janji yang besar untuk pengembangan wilayah Papua, kenyataannya telah mengecewakan banyak pihak, termasuk masyarakat adat Papua sendiri.

Salah satu poin penting dari Undang-Undang tersebut adalah pemberian kewenangan tambahan kepada Papua dalam berbagai bidang, termasuk pemerintahan, ekonomi, sosial, dan budaya. Namun, data terbaru mengenai perwakilan masyarakat asli Papua (OAP) dalam pemilihan umum menunjukkan sebuah realitas yang menyakitkan.

Pada Pemilu 2019, sejumlah kabupaten dan kota di Papua menunjukkan ketidaksesuaian yang mencolok antara komposisi anggota legislatif yang terpilih dengan jumlah penduduk asli Papua. Misalnya, di Kabupaten Sarmi, dari total 20 kursi, hanya 7 diisi oleh OAP, sementara di Kabupaten Mimika, dari 35 kursi, hanya 17 diisi oleh OAP. Data ini mencerminkan ketidakseimbangan yang signifikan dalam representasi politik OAP dalam lembaga legislatif.

Kasus ini menjadi semakin memprihatinkan ketika melihat data terbaru dari Pemilu 2024-2029, di mana hanya sedikit kemajuan yang terjadi. Kabupaten Merauke, misalnya, hanya memiliki 2 CALEG OAP, sementara Kabupaten Sorong dan Sarmi hanya memiliki 3 CALEG OAP masing-masing. Ini menyoroti tidak hanya kegagalan sistem politik dalam memberikan wakil yang seimbang bagi OAP, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius tentang keseriusan pemerintah pusat dalam menerapkan prinsip-prinsip otonomi khusus.

Bapak Dom, seorang tokoh masyarakat Papua, mengecam situasi ini sebagai "pencurian hak" terhadap OAP. Menurutnya, janji-janji otonomi khusus hanyalah sebatas nama, sementara substansi dan isi sebenarnya tidak mencerminkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat asli Papua. Bahkan, situasi ini juga mencakup dominasi pegawai negeri sipil (ASN) dari luar Papua, yang menurutnya semakin menguat di sepanjang rentang geografis dari Sorong hingga Merauke.

Dalam konteks ini, tuntutan untuk revisi serius terhadap Undang-Undang Otonomi Khusus Papua menjadi semakin mendesak. Masyarakat Papua menuntut agar pemerintah pusat benar-benar menghormati hak-hak asasi manusia mereka, termasuk hak untuk memiliki representasi politik yang adil dan proporsional sesuai dengan komposisi penduduk asli Papua. Tanpa langkah-langkah konkret untuk mengatasi ketidakadilan ini, mimpi akan otonomi sejati bagi Papua tetap menjadi sebuah ilusi yang menggelisahkan. (Malik)

Posting Komentar

0 Komentar