Aksi ini diisi dengan orasi politik dan pembacaan puisi yang menyoroti isu eksploitasi sumber daya alam (SDA) masyarakat adat, baik di Papua maupun di seluruh dunia. Para peserta aksi menegaskan bahwa kapitalisme, kolonialisme, dan militerisme harus menghormati serta mengakui hak-hak masyarakat adat, termasuk hak ulayat atas tanah dan kekayaan alamnya.
Koordinator aksi, Demsak Kolago, menyampaikan bahwa tujuan kegiatan ini adalah untuk memperkuat eksistensi dan perlawanan masyarakat adat agar hidup adil, sejahtera, mandiri, berdaulat, dan bahagia di tanah adat mereka sendiri.
Dalam pernyataan sikapnya, MAI-P KK Agamua bersama peserta aksi membacakan 38 tuntutan yang ditujukan kepada pemerintah Indonesia dan masyarakat internasional. Beberapa di antaranya:
1. Penutupan PT Freeport Indonesia di Timika
2. Penolakan proyek MIFEE di Merauke dan berbagai proyek tambang di Papua
3. Penarikan militer organik dan non-organik dari seluruh tanah Papua
4. Penghentian operasi militer di wilayah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, dan Pegunungan Bintang
5. Pembebasan tahanan politik Papua tanpa syarat
6. Pembukaan akses jurnalis dan Komisi HAM PBB untuk memantau langsung situasi HAM di Papua
7. Penolakan seluruh proyek yang merampas tanah adat, termasuk PLTA, smelter, dan perkebunan sawit
Para peserta aksi juga menegaskan dukungan bagi perjuangan masyarakat adat di seluruh dunia yang menolak perampasan lahan oleh investor.
“Salam Masyarakat Adat! Selamatkan tanah adat dan manusia Papua!” tegas Demsak Kolago menutup aksi.
Aksi ini berlangsung damai dengan partisipasi berbagai kelompok masyarakat, mahasiswa, dan organisasi sipil, mengangkat isu-isu yang selama ini menjadi keresahan masyarakat adat Papua.
Sumber : M. Ibage
Editor : Redaksi Olemah
Website : www.olemah.com
Diterbitkan : 11 Agustus 2025
0 Komentar