Haris menilai pemekaran justru menambah kompleksitas kebijakan tanpa melibatkan partisipasi publik secara adil.
“Waktu pemekaran dibahas di tingkatan pemangku kepentingan, tidak jelas siapa yang mendorong. Ada yang bilang orang Papua, ada yang bilang elit di pusat. Faktanya, kebijakan ini cenderung top-down,” ungkap Haris.
Menurutnya, lahirnya empat provinsi baru di Papua memunculkan lebih banyak struktur birokrasi dan program kerja. Namun, keterlibatan rakyat Papua dalam penyusunan dan pengawasan program tersebut masih minim.
“Kalau tiap gubernur punya 25 program per tahun, dikali 180 jabatan struktural dari empat provinsi, bisa ada lebih dari 4.500 program. Tapi siapa yang diajak menyusunnya? Siapa yang mengawasi anggarannya?” tanya Haris.
Ia menegaskan, pemekaran seharusnya mendorong partisipasi publik dalam pembangunan, bukan sekadar menambah jabatan.
“Kalau tujuannya supaya orang Papua bisa jadi gubernur, itu hanya partisipasi dalam jabatan, bukan dalam pembangunan,” ujarnya.
Soroti DOB dan Proyek Food Estate
Haris juga menyoroti kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) dan proyek nasional seperti food estate yang menurutnya dibuat tanpa konsultasi publik memadai.
“Siapa yang bikin kebijakan food estate 100.000 hektare di Papua Selatan? Bupati? Gubernur baru? Mahasiswa? Rakyat? Tidak ada. Semua keputusan datang dari pusat,” kritiknya.
Ia menyebut, dari era Otonomi Khusus, UU Pemekaran, hingga DOB, kebijakan strategis justru kerap membuat masyarakat Papua semakin tersisih dalam pengambilan keputusan.
Haris menyerukan agar masyarakat Papua aktif merebut ruang kebijakan, bukan hanya secara simbolik tetapi juga dalam pengambilan keputusan nyata.
“Kita harus pastikan energi kita masuk dalam kebijakan. DPR dan kepala dinas harus benar-benar mengurus rakyatnya. Kalau tidak, tempat dan kampung kita bisa hilang tanpa kita sadari,” tegasnya.
Sumber : Gobai
Editor : Redaksi Olemah
Website : www.olemah.com
Diterbitkan : 10 Agustus 2025
0 Komentar